- Penulis :
- Lusia Kus Anna
- Kamis, 20 Juni 2013 | 09:08 WIB
Simulasi penanganan banjir di Desa Umatoos, Malaka, NTT.
Plan Internasional
Simulasi penanganan banjir di Desa Umatoos, Malaka, NTT.
Plan Internasional
KOMPAS.com - Meski cuaca sedang panas terik, tetapi Desa Umatoos, Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur, bisa diterjang banjir besar disertai lumpur.
Setiap kali mendengar ribut suara katak di sekitar sungai, hati Nikolas Seran (48) langsung cemas. "Biasanya jika ramai suara katak sebentar lagi akan banjir. Kami langsung bersiap-siap," kata warga desa Umatoos ini.
Desa Umatoos adalah desa yang menjadi langganan banjir. Pada tahun 2012 saja terjadi 17 kali banjir lumpur. Desa seluas 12 kilometer dengan 600 hektar lahan pertanian itu sebagian besar wilayahnya kini tertutup lumpur.
"Sudah lima tahun warga kami tidak bisa bertani lagi karena lahannya tidak bisa dipakai," kata Andreas Nahak Seran, Kepala Desa Umatoos, disela simulasi penyelamatan bencana beberapa waktu lalu.
Umatoos memang rentan banjir. Letaknya yang hanya 5 meter di bawah permukaan laut serta berada di daerah aliran sungai. Desa ini sebenarnya juga rawan tsunami.
Kondisi tanah yang labil dengan kandungan kapur dan pasir membuat desa ini rawan banjir. Kerentanan lainnya adalah penebangan liar di sepanjang daerah aliran sungai, mulai dari hulu di wilayah Gunung Mutis, Timor Tengah Selatan .
Sejak beberapa waktu terakhir dibantu konsorsium lembaga-lembaga internasional nonpemerintah seperti Handicap International, Plan, dan Care, warga di Umatoos serta beberapa desa di tiga kabupaten di NTT belajar bagaimana meminimalisasi jatuhnya korban dalam setiap bencana. Harapannya, program ini bisa menyebar ke banyak tempat.
Program Pengurangan Risiko Bencana (PRB) mengajak masyarakat secara aktif belajar pengamatan kebencanaan. Mereka juga diajak mengenali tanda-tanda datangnya banjir.
Untuk memudahkan koordinasi dipilih 30 warga yang disebut warga siaga dengan tugas masing-masing. Misalnya ada regu informasi yang memberi info kepada warga desa untuk bersiap, regu pemetaan, regu pendataan, sampai regu evakuasi.
Peter Ana Andung, Manajer Handicap Internasional menambahkan, pada dasarnya warga desa sudah memiliki pengetahuan cara bertahan saat banjir besar.
"Program PRB di sini hanya memberikan penguatan supaya mereka lebih siaga dan tidak panik saat bencana datang sehingga kerentanan berkurang," katanya.
Nikolas mengatakan, sejak ada pelatihan PRB, warga semakin merasa siap ketika terjadi banjir karena sudah tahu jalur-jalur evakuasi. "Saat evakuasi warga ketika banjir lumpur datang kami harus berhati-hati karena di sekitar muara sungai ada buaya," katanya.
Simulasi penyelamatan saat terjadi bencana yang dilakukan juga menambah rasa percaya diri mereka karena warga mengetahui dimana tempat mengungsi yang aman.
Kendati sudah berulang kali diterjang banjir, sampai saat ini warga desa Umatoos masih enggan direkolasi. Padahal timbunan lumpur kerap membuat rumah tidak bisa ditinggali cukup lama. Belum lagi hilangnya waktu sekolah anak-anak karena sekolah mereka ikut tertimbun lumpur.
Andreas mengatakan saat ini warga berharap pemerintah mau memperbaiki tanggul di sungai Benanai yang rusak sejak tahun 2008.
Menanggapi permintaan tersebut, Hendrik Rawambaku, Ketua Komisi D DPRD NTT, mengatakan pemerintah berusaha mencari solusi permanen dari bencana banjir di Kecamatan Malaka. "Pembuatan tanggul adalah solusi parsial, sementara penyebab utama dari banjir itu adalah penggundulan hutan di hulu," katanya.
Antisipasi
Antisipasi datangnya bencana seharusnya memang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari aktivitas keseharian masyarakat. Budaya akrab lingkungan, antisipasi, dan mitigasi bencana, akan membantu mengurangi risiko bencana.
"Jatuhnya korban jiwa saat terjadi bencana sebenarnya bukan karena bencana itu sendiri, tapi karena ketidaksiapan masyarakat dalam menghadapi bencana," kata Amin Megatani, manajer program PRB dari Plan International.
Ia menambahkan, yang menjadi tantangan dalam program PRB adalah mengubah pola pikir masyarakat yang selama ini meyakini bahwa bencana alam adalah takdir Tuhan atau kutukan.
"Kita bisa melihat manfaat PRB dari kejadian gempa dan tsunami di Jepang beberapa waktu lalu. Meski skala bencananya besar tapi korbannya sedikit karena sistem di sana sudah berjalan," katanya.
Senada dengan Amin, Peter mengatakan kegiatan pelatihan dan juga simulasi untuk menghadapi bencana akan membuat warga di daerah rawan bencana lebih siap ketika bencana tersebut benar-benar datang.
"Simulasi bencana akan meningkatkan keterampilan warga sehingga mereka bisa mengorganisasi diri menghadapi bencana," katanya.
Simulasi seharusnya jadi program rutin yang diadakan setiap tahun. Namun di luar itu, tentu lebih mendesak untuk menyelesaikan pemicu bencana, terutama bencana yang diakibatkan oleh faktor manusia seperti banjir atau longsor.
Editor : Kistyarini