Dalam kehidupan keluarga Juono di Vancouver, Kanada, persoalan pertama sepertinya telah terlampaui. Hal ini bisa dilihat dari seting kehidupan keluarga menengah yang mapan, mirip keluarga-keluarga diplomat Indonesia di luar negeri.
Relasi dengan asal-usul pun terwakili lewat simbol-simbol generik, seperti baju batik, pajangan wayang golek, juga kuliner, dalam hal ini nagasari (kudapan tradisional Indonesia yang terbuat dari tepung beras yang dibungkus daun pisang). Yang tersaji adalah gambaran keluarga yang harmonis, akrab, dan solid. Singkatnya, ideal.
Namun, ketika sang ibu meninggal dunia, fondasi itu terguncang. Sang ayah (Roy Rumantir) kehilangan pegangan, bahkan kehilangan semangat hidup. Kedua putri mereka, Kirana (Pinky Hapsari) dan Nala (Dias Herlambang), mengatasi tragedi itu dengan caranya. Kirana yang lebih matang memilih tinggal dan mengurus sang ayah yang menutup diri dengan dunia luar. Sementara si bungsu, Nala, yang bersekolah di kota lain, memandang tragedi dalam kacamata yang lebih ringan dan simpel, seperti juga caranya memandang hidup.
"Lha ibu, kan, udah lama meninggal, kenapa ayah harus balik lagi jadi sedih?" Itu cara pandang Nala. Seperti juga anggapannya bahwa dengan menghidangkan kembali nagasari seperti buatan ibu, ayahnya akan "sembuh" kembali.
Dan, gesekan antara kakak-adik pun sulit dihindari. Kirana yang merasa telah berkorban selama dua tahun penuh mengurusi ayahnya merasa sang adik tidak memahami gentingnya persoalan. Boro-boro mengerti, mungkin teringat saja terhadap ayah dan dirinya, tidak.
Ketika sang adik menentang keputusan Kirana untuk memasukkan sang ayah ke home care dan menyebutnya sebagai selfish, meledaklah amarah sang kakak. "Ke mana saja kamu selama ini? Apa pernah terpikir selama kamu sibuk bermain-main dengan masa depanmu bagaimana aku mengurus ayah selama dua tahun?"
Ke festival film Richmond
Patut dipuji permainan Pinky Hapsari yang natural. Kegalauannya untuk memasukkan sang ayah ke home care, kebuntuannya menghadapi masa depan, kelelahan batinnya untuk menggantikan peran sang ibu; terekspresikan dalam kekuatan karakter. Sayang, kekuatan ini tidak diimbangi akting para pemain lainnya. Akting Juono ketika gembira, marah, depresi; misalnya, nyaris senada.
Ide cerita menarik dan tak biasa. Tetapi penggalian konflik menjadi kurang intens, bisa jadi karena ada ending yang ingin dikejar: sebuah solusi yang berniat menyelesaikan seluruh kerumitan persoalan dalam durasi waktu 49 menit.
Namun, film yang pekan ini diputar di Richmond International Film Festival dan pernah diputar khusus di Jakarta Juni lalu itu mencuatkan harapan baru tentang lahirnya sineas-sineas muda Indonesia yang penuh bakat. Apalagi, film ini merupakan karya patungan komunitas masyarakat Indonesia di Vancouver. Seluruh pemain dan kru di film ini merupakan sukarelawan, bekerja tanpa bayaran. Mereka disatukan semangat untuk mengenalkan budaya Indonesia kepada masyarakat Kanada melalui media kreatif.
Eduardus Pradipto (26) yang menjadi co-director film ini bersama Christopher Hanno juga merangkap sebagai sinematografer, sound editor, scoring, dan sekaligus bermain musik untuk sejumlah soundtrack-nya. Eduardus, yang biasa dipanggil Dito, merupakan videografer lulusan Simon Fraser University dan pernah menggarap video diary Laskar Pelangi, film arahan sutradara Riri Riza pada tahun 2008. (MYR)
Nagasari
Sutradara: Eduardus Pradipto dan Christopher Hanno
Pemeran: Pinky Hapsari, Dias Herlambang, Roy Rumantir, Wiwied Conforti, Nathan Finneren.
Anda sedang membaca artikel tentang
Nagasari: Kerinduan Akan Akar
Dengan url
http://preventcholesterolsoon.blogspot.com/2013/07/nagasari-kerinduan-akan-akar.html
Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya
Nagasari: Kerinduan Akan Akar
namun jangan lupa untuk meletakkan link
sebagai sumbernya
0 komentar:
Posting Komentar